Senin, 02 Agustus 2010

Makna Hakiki Wakil Rakyat

Tentang Indonesia Sejahtera


Suryo
Komaruddin Hidaya Senin, 2 Agustus 2010 22:42 WIB
Dalam bahasa Arab, kata wakil berarti tempat bersandar. Makanya ada nasehat, kalau kita mendapatkan problem yang sangat berat, bertawakallah pada Allah. Kata tawakkal pada Allah berarti bersandar kepada-Nya, untuk mengadukan persoalan kita agar memperoleh pertolongan dan solusi. Hasbunallah wa ni’malwakil, Allah adalah sebaik-baik wakil, tempat bersandar dan mengadu. Demikian dinyatakan dalam Al-Qur’an.

Kata wakil telah masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia dan memiliki posisi sangat baku, sehingga setiap jabatan strategis mesti ada wakilnya, sejak dari Presiden, Gubernur, Bupati dan bahkan rakyat sendiri memiliki wakil. Seorang yang menjadi Wapres (Wakil Presiden) berarti mesti siap dan memiliki kapasitas tempat bersandar ketika Presiden memiliki problem yang berat atau berhalangan melaksanakan tugas. Karena tempat bersandar, maka sosok seorang wakil tidak bisa sembarangan.

Memang memiliki perbedaan konotasi ketika kata “wakil” dilekatkan pada Tuhan dan pada jabatan yang diemban manusia. Tuhan adalah sebaik-baik wakil (nimalwakil) atau tempat bersandar yang bersifat absolut mengatasi kekuatan dan kekuasaan hamba-Nya. Namun begitu, ketika kata wakil dilekatkan pada manusia tetap memiliki pesan yang sama. Bahwa siapapun yang menduduki wakil harus siap dan mampu menjadi tempat sandaran bagi yang diwakili. Jadi, wakil bukan sekadar “ban serep”, bukan “hiasan dan pelengkap birokrasi”.

Yang menyedihkan adalah ketika bangsa ini melakukan seleksi anggota “wakil rakyat”  sampai dengan pesta pelantikan dan melaksanakan tugas yang mesti diembannya masih terkesan mengabaikan prinsip moralitas dan kualitas. Seorang wakil rakyat mestilah memiliki kesiapan mental dan kapasitas profesional untuk menjadi tempat sandaran dan pengaduan mereka yang diwakili, yaitu rakyat. Pertanyaannya, benarkah mereka yang duduk di kursi DPR nanti adalah pribadi-pribadi yang siap dan mampu menjadi sandaran rakyat? Jawabannya cukup meragukan karena yang sekarang menjadi DPR sebagian cara memperolehnya dengan uang, bukannya karena keunggulan integritas dan keahliannya.

Makna lain dari wakil dalam tradisi Barat adalah representasi. Sebagai representasi rakyat diwakili menjadi sangat janggal kalau para anggota DPR itu tidak memahami dan memperjuangkan nasib rakyat. Lebih celaka lagi kalau rakyat hanya dieksploitasi suaranya setiap pemilu untuk melapangkan jalan bagi mereka agar memperoleh jabatan tinggi dengan gaji tinggi.

Lalu, apa pengertian rakyat. Dalam bahasa Arab, rakyat mengandung arti dua, yaitu himpunan massa yang perlu dijaga atau digembala, dan kedua, rakyat berarti tempat kembali. Jadi, tugas DPR bersama pemerintah adalah menjaga dan menggembala rakyat agar hidupnya aman dan sejahtera. Tugas itu merupakan kontrak-amanat. Kalau pemerintah dan DPR yang dilakukan adalah sebaliknya, yaitu memeras dan menyengsarakan rakyat, jelas berlawanan dengan makna dan tugas utama sebagai wakil rakyat dan pemerintah yang dalam istilah Arab disebut “arra’i” atau penggembala.

Ketika kontrak sudah berakhir, maka berlaku pengertian yang kedua, yaitu rakyat merupakan tempat kembali. Kita semua, entah anggota DPR ataupun pejabat tinggi pemerintah, berasal dari rakyat dan kembali menjadi rakyat biasa lagi. Lagi-lagi kita sering melihat kelucuan yang menyedihkan, banyak mantan anggota DPR dan pejabat tinggi pemerintah yang tidak siap berkumpul kembali dan berperilaku layaknya rakyat biasa. Padahal, rumah aslinya adalah bersama mereka itu.

Jadi, kalimat Majelis Permusyawaratan Wakil Rakyat, semuanya diambil dari bahasa Arab Al-Qur’an yang sekaligus menunjukkan kedalaman pemahaman tentang substansi keagamaan para pendiri bangsa ini yang diekspresikan dan diimplementasikan dalam teori negara modern tanpa mesti bertengkar memperjuangkan “Negara Islam”. Bagi para founding fathers, Islam lebih didekati secara substantif, bukan formal-ideologis. Oleh karenanya tepat jika dikatakan Indonesia ini sebagai “muslim country” dengan catatan nilai-nilai dan semangat Islam dilaksanakan dengan benar untuk memajukan Republik Indonesia tercinta bukan berhenti para retorika dan label.

Menarik didengarkan, beberapa kelompok radikalis-teroris berargumen bahwa Republik Indonesia yang sangat gigih memperjuangkan demokrasi sama halnya dengan pemerintahan kafir, pemerintahan thaghut atau syaitan, karena lebih menghargai kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan Tuhan. Pemerintah seperti ini, menurut mereka, harus dilawan dan dihancurkan karena menjadi musuh Tuhan. Siapa yang mati dalam melakukan perlawanan tergolong mati syahid, surga telah menunggu.

Pandangan di atas pasti sangat menyakitkan para pahlawan kemerdekaan dan pendiri bangsa yang telah menetapkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan ruh dari empat sila lainnya dalam Pancasila. Jadi, agenda terbaik untuk membela agama, terutama Islam, yang hidup di Indonesia ini adalah dengan cara mengimplementasikan dengan baik, sehingga orang merasa lebih aman, sejahtera dan berkeadaban. Buatlah orang tertarik pada agama yang Anda peluk karena integritas dan prestasi Anda dalam memajukan masyarakat dan bangsa. Terlebih bagi mereka yang tampil sebagai anggota DPR mewakili partai yang berlabel agama, maka integritas dan prestasinya harus lebih menonjol karena mereka juga mewakili martabat agamanya. Kalau tidak, partai keagamaan tak akan lama pasti akan ditinggalkan orang.

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.