Jumat, 09 Juli 2010

Parpol dan, Pemerintah

Tentang Indonesia Sejahtera

Suryo Senin, 7 Juni 2010 08:49 WIB
Democracy is noisy. Demokrasi itu bising. Tetapi kebisingan demokrasi yang sehat ibarat air hujan yang disertai petir, meski gaduh dan bising pada akhirnya mendatangkan kesuburan bagi tanaman asal sistem irigasi dan saluran air tertata rapi.
Demokrasi yang sehat meniscayakan adanya parpol yang juga sehat. Aspirasi masyarakat akan solid dan memiliki daya pressure yang kuat serta mitra pemerintah yang konstruktif  kalau saja jumlah parpol tidak terlalu banyak namun berkualitas. Pengalaman di Amerika Serikat, Inggris dan Australia, misalnya, hanya ada dua parpol tingkat nasional yang dominan, sehingga perannya signifikan sebagai pengimbang the rulling party.

Di Indonesia jumlah parpol yang ideal mungkin cukup sepuluh saja mengingat sedemikian majemuk budaya, agama dan etnis bangsa ini. Jumlah parpol lebih dari tiga puluh membuat rakyat bingung untuk membedakan distingsi dan diferensiasi antar mereka. Kesan dan penilaian masyarakat yang muncul adalah parpol itu tak ubahnya sebuah perusahaan untuk mencari keuntungan materi dan jabatan. Di antara pengurusnya bahkan ada yang sangat kental didominasi keluarga.

Kalau dalam sebuah perusahaan penjual jasa, tolok ukur kinerjanya sangat jelas. Yaitu menghasilkan produk untuk ditawarkan pada masyarakat melalui kompetisi sehat. Masyarakat sebagai pembeli dan pengguna jasa yang akan menilai. Kalau bagus mereka tak segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli. Jadi, eksistensi dan daya survive sebuah perusahaan tergantung dari dukungan masyarakat pengguna jasanya.

Lalu, bagaimana peran dan jasa parpol kita selama ini? Yang pertama tentu saja berpartisipasi untuk membangun dan menjaga tradisi berdemokrasi yang sehat dan dewasa. Demokrasi yang tidak mencerdaskan dan mensejahteraan rakyat pada akhirnya akan digugat keberadaannya. Orang sering menyebutnya sebagai demokrasi semu, demokrasi setengah hati, demokrasi prosedural, atau bahkan democrazy.
Jadi, banyaknya jumlah parpol tidak identik dengan kematangan berdemokrasi. Benarkah aktivitas dan produk parpol yang wakilnya berkumpul di lembaga DPR dan sebagian duduk di jajaran kabinet kinerjanya bagus? Ataukah hanya sibuk dengan dirinya sendiri mempersiapkan pemilu dan pilkada?

Di berbagai daerah peran parpol seakan hanya berjualan "boarding pass" bagi calon kepala daerah yang berminat dan berduit, namun yang bersangkutan tidak memiliki visi dan komitmen untuk membangun daerahnya. Berbagai kasus yang terjadi amat sangat menyedihkan: calon yang kalah ada yang gila dan ekonomi keluarganya bangkrut tak ubahnya orang gulung tikar kalah judi.
Yang menang pun sarat manipulasi. Begitu menang agenda pertama menghitung ongkos yang telah dikeluarkan selama kampanye untuk dicari gantinya plus untungnya dengan jalan korupsi. Inikah wajah demokrasi kita? Apa yang hendak dilakukan parpol terhadap semua ini?

Setidaknya terdapat tiga tugas utama parpol. Pertama, meningkatkan kualitas kader-kadernya. Kedua, melakukan pendidikan politik bagi para pendukungnya, sehingga kehadiran parpol dirasakan oleh masyarakat. Ketiga, mengontrol pemerintahan secara kritis-konstruktif. Pemerintah dan parpol mestinya malu dan merasa berdosa melihat praktik pilkada yang amburadul.

Maraknya pilkada di berbagai daerah dan kian dekatnya pemilu 2014 tokoh-tokoh parpol kelihatan bingung dan sibuk bagaimana mencari dana untuk ongkos kompetisi, sampai-sampai mendesak pemerintah untuk mengeluarkan dana triliunan agar dialirkan ke parpol dengan istilah dana aspirasi. Singkatnya, untuk membeli suara para pendukungnya dengan dana pemerintah. Sekalipun parpol punya program dan sumber daya manusia, tetapi tanpa dana tidak akan berjalan. Pengalaman selama ini, dari mana dananya kalau bukan dari kantong pemerintah yang digaet dengan berbagai modus operandi?  

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar